Beranda | Artikel
Irab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (9)
Minggu, 2 Oktober 2016

  1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah raimahullāh menjelaskan bahwa Al-Ilāh (Tuhan yang benar) adalah Yang Diibadahi (Al-Ma‘būd) dan Yang Ditaati (Al-Muṭā‘), karena Al-Ilāh adalah Al-Ma`lūh sedangkan Al-Ma`lūh adalah Yang Berhak untuk diibadahi. Dia berhak diibadahi (disembah) karena bersifat dengan sifat-sifat yang mengandung konsekuensi, yaitu Dia menjadi (Sesembahan) yang dicintai dengan puncak kecintaan dan ditaati dengan puncak ketundukan.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah raimahullāh juga menjelaskan bahwa Al-Ilāh (Tuhan yang haq) adalah Tuhan yang dicintai lagi disembah, yang dipertuhankan oleh hati dengan mencintai-Nya, mematuhi-Nya, merendahkan diri, takut dan berharap kepada-Nya, kembali kepada-Nya dalam kesulitan, berdoa kepada-Nya dalam terkait berbabgai urusan, bertawakkal kepada-Nya untuk meraih berbagai kemaslahatan, berlindung kepada-Nya, merasa tentram dengan menyebut-Nya, merasa tenang dengan mencintai-Nya, semua ibadah ini hanya untuk Allah semata[1. Fatḥul Majīd, hal. 53].

  2. Ibnu Rajab raimahullāh menjelaskan bahwa realisasi kalimat lā ilāha illallāh yang mengandung dua rukun tersebut adalah dengan mewujudkan tauhid dengan hatinya, maka ia akan mengeluarkan segala sesuatu (segala bentuk peribadatan kepada) selain Allah, seperti kecintaan, pengagungan, penghormatan, pemuliaan, rasa takut dan tawakkal (kepada selain Allah dari hatinya), pada saat itu seluruh dosa-dosa dan kesalahanya dihapuskan, walaupun seperti buih di lautan[2. Fatḥul Majīd, hal. 72.].

    Lihatlah, bagaimana beliau memaparkan rukun An-Nafyu dengan mengeluarkan segala sesuatu selain Allah dari hati seorang hamba! Tentunya rukun An-Nafyu haruslah dipahami dalam konteks An-Nafyu yang mengandung Al-Ibāt, sehingga nampak nilai pengesaan Allah (tauhid) dengan kedua rukun sekaligus.

    Demikianseorang hamba yang benar-benar memahami dan mengamalkan tuntutan kalimat tauhid ini adalah sosok hamba yang tidak mencintai dengan jenis cinta yang ibadah kecuali kepada Allah, tidaklah takut dengan jenis takut yang ibadah kecuali kepada Allah, tidaklah mengharap dengan jenis harapan yang ibadah kecuali kepada Allah, dan seterusnya dari berbagai macam ibadah ia hanya persembahkan kepada Allah semata, bahkan ia sempurnakan peribadatan kepada Rabbnya tersebut.

  1. Syaikh Abdur Rahman Alusy-Syaikh raimahullāh menjelaskan dalam kitabnya Fathul Majid bahwa orang yang ikhlas dalam mengucapkan kalimat tauhid ini adalah yang mengucapkan kalimat tauhid tersebut dengan ikhlas dan keyakinan sempurna, maka dalam keadaan yang seperti ini -pada asalnya- tidaklah ia terus-menerus melakukan suatu dosa, karena kesempurnaan ikhlas dan keyakinannya mengharuskan Allah lebih ia cintai dari segala sesuatu dan lebih ia takuti dari segala sesuatu, maka ketika itu tidak tersisa dalam hatinya kehendak terhadap apa yang Allah haramkan dan tidak terdapat pula ketidaksukaan terhadap apa yang Allah perintahkan[3. Fatḥul Majīd, hal. 5].

[Bersambung]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

[serialposts]

___

🔍 Doa Perlindungan, Karma Dalam Pandangan Islam, Dhoif, Pertanyaan Seputar Aqidah, Pengertian Sholat Rawatib


Artikel asli: https://muslim.or.id/28740-irab-la-ilaha-illallah-dan-pengaruh-maknanya-9.html